Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi

Drama Bidaah: antara Kritik Sosial dan Propaganda Terselubung

Senin, 21 April 2025 16:33 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kontroversi Film Bidaah (Broken Heaven)
Iklan

“Bidaah” menunjukkan bagaimana agama bisa dijadikan alat manipulasi jika dijauhkan dari akal sehat.

***

Bayangkan seorang gadis muda yang tumbuh di keluarga religius, selalu diajarkan bahwa surga bisa diraih dengan taat dan tunduk. Namanya Baiduri—tipe manusia lugu dan sederhana yang masih mencari makna. Dan ketika ibunya mengarahkan langkahnya untuk bergabung ke sebuah kelompok bernama Jihad Ummah, Baiduri belum tahu bahwa jalan menuju kebenaran bisa jadi begitu gelap dan berliku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Film Bidaah (Broken Heaven), yang dibintangi Riena Diana sebagai Baiduri dan Faizal Hussein sebagai pemimpin sekte karismatik Walid Muhammad, bukan sekadar tontonan drama penuh intrik. Ia adalah kritik sosial dalam balutan kisah personal, dan diam-diam menyisipkan pertanyaan besar: sejauh mana agama bisa digunakan sebagai alat kendali?

Mari kita telusuri jejak Baiduri. Dibesarkan oleh Kalsum (diperankan apik oleh Fazlina Ahmad Daud), ibunya yang taat luar biasa, Baiduri diajak untuk bergabung dengan Jihad Ummah—sebuah sekte yang dari luar tampak agamis, suci, dan lurus. Tapi di balik serban dan ayat-ayat yang dikutip setiap detik, ada bau manipulasi yang menyengat.

Awalnya Baiduri ragu. Tapi tekanan dari sang ibu, ditambah aura “suci” dari sang pemimpin, Walid Muhammad, akhirnya membuatnya tunduk. Inilah realita yang seringkali terjadi: agama bukan lagi jalan, melainkan jerat. Dan ketika sudah masuk terlalu dalam, sulit untuk membedakan mana iman dan mana ilusi.

Namun Baiduri bukan karakter yang pasrah begitu saja. Setelah masuk ke dalam lingkaran Jihad Ummah, ia mulai merasakan keganjilan. Pernikahan paksa, ketaatan mutlak kepada pemimpin (yang bahkan lebih dari kepada Tuhan), hingga ritual-ritual yang lebih mirip sihir ketimbang ibadah. Di titik ini, film Bidaah menyentil hal penting: bagaimana penyimpangan bisa dibungkus rapi dengan dalil.

Satu demi satu pertanyaan bermunculan di benak Baiduri. Tapi pertanyaan tidak selalu disukai oleh mereka yang ingin mengendalikan. Dalam sistem otoriter berbaju agama, bertanya dianggap memberontak, berpikir dianggap dosa. Di sinilah letak kuatnya kritik sosial Bidaah: ia menggambarkan bagaimana institusi yang katanya religius bisa menjadi alat kekuasaan yang represif.

Masuklah tokoh Hambali (Fattah Amin), anak kandung Walid yang baru pulang dari Yaman. Hambali bukan anak muda biasa. Ia punya dasar ilmu agama yang kokoh, dan idealisme yang tak bisa dibeli. Ketika ia mulai melihat bahwa ajaran ayahnya tak sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ia pelajari, konflik pun meletus.

Bersama Baiduri, Hambali memulai perjuangan untuk mengungkap sisi gelap Jihad Ummah. Mereka bukan hanya mempertaruhkan nyawa, tapi juga hubungan keluarga, harga diri, dan keimanan itu sendiri. Melalui mereka berdua, film ini membangun ketegangan emosional yang kuat—karena mereka tak hanya melawan kekuasaan, tapi juga melawan rasa takut yang sudah lama tertanam.

Di balik ketegangan itu, Bidaah menyisipkan propaganda yang halus namun efektif. Ia seolah ingin mengatakan bahwa pemahaman agama yang tertutup, kaku, dan tidak terbuka terhadap kritik adalah ladang subur bagi kekerasan dan penyimpangan. Tapi jangan salah paham, film ini bukan antiagama. Justru sebaliknya—Bidaah ingin kita kembali kepada esensi agama yang penuh kasih, logika, dan akhlak.

Pertanyaan menarik pun muncul: apakah film ini murni kritik sosial? Atau ia diam-diam menawarkan narasi tertentu tentang “agama yang benar” dan “agama yang salah”? Di sinilah wilayah propaganda mulai terasa samar. Tokoh-tokoh progresif digambarkan lebih manusiawi, lebih rasional, dan penuh empati. Sementara kelompok konservatif tampak dingin, kejam, dan fanatik. Apakah itu generalisasi? Mungkin. Tapi dalam film, pembingkaian (framing) adalah segalanya.

Namun, tidak berarti film ini menyesatkan. Justru Bidaah menuntut kita sebagai penonton untuk berpikir lebih dalam. Jangan telan mentah-mentah. Jangan percaya karena jubah. Jangan patuh karena takut. Dan yang paling penting: jangan berhenti bertanya.

“Bidaah” menunjukkan bagaimana agama bisa dijadikan alat manipulasi jika dijauhkan dari akal sehat. Bagaimana seorang pemimpin bisa memutarbalikkan kebenaran hanya karena punya karisma dan segelintir pengikut fanatik. Tapi juga menunjukkan bahwa di tengah kegelapan, masih ada orang-orang seperti Baiduri dan Hambali—yang memilih jalan sunyi untuk membongkar kemunafikan yang bersembunyi di balik doa dan dzikir.

Dengan narasi yang kuat, karakter yang tidak hitam-putih, dan konflik yang sangat relevan dengan realitas hari ini, Bidaah bukan sekadar drama. Ia adalah cermin. Cermin yang memantulkan pertanyaan-pertanyaan tak nyaman tentang siapa yang kita ikuti, mengapa kita mengikuti, dan apakah yang kita ikuti benar-benar membawa kita menuju kebenaran—atau justru menjauhkan kita dari-Nya.

Jika Anda mencari tontonan yang bukan hanya menghibur tapi juga menggugah, Bidaah adalah pilihan yang tepat. Tapi bersiaplah: film ini mungkin tidak akan memberi jawaban. Tapi ia akan mengganggu kenyamanan Anda. Dan kadang, itulah fungsi terbaik dari sebuah karya seni.

Dalam perspektif Islam, penyimpangan ajaran agama yang dilakukan atas nama Tuhan adalah peringatan serius yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta: 'Ini halal dan ini haram,' untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (QS. An-Nahl: 116). Ayat ini menjadi pengingat bahwa menjual ajaran agama demi kepentingan kekuasaan, seperti yang digambarkan dalam sekte Jihad Ummah, adalah bentuk kebohongan spiritual yang merusak.

Rasulullah SAW juga bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh tipu daya. Para pendusta dipercaya, orang jujur dianggap pembohong. Pengkhianat diberi amanat, sedangkan orang amanah justru dikhianati. Dan para Ruwaibidhah mulai berbicara.” Para sahabat bertanya, “Siapakah Ruwaibidhah itu?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang bicara soal urusan umat.” (HR. Ibnu Majah). Sabda ini memperjelas bahwa saat orang-orang yang tak layak memimpin mulai menguasai tafsir agama, maka kehancuran sosial pun bisa terjadi. Dalam konteks Bidaah, penonton diajak untuk tidak hanya menonton cerita, tetapi merenung: apakah kita cukup waspada terhadap otoritas yang berselubung jubah suci?

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Hiburan

Lihat semua